Rabu, 17 Juli 2013

INSPIRASI RAMADHAN PART 1


Cerita oleh : Ben Susilo
Diproduseri oleh : Ben Susilo
Diperankah oleh : Manu, Adek, Ibuk, Bapak
Latar : Rumah Manu, rumah sakit
Bagian : Bagian 1 dari 2 sekuel.

Cerita ini adalah fiktif, jika ada kesamaan nama tokoh dan cerita kami mohon maaf. Tujuan kami agar menjadi inspirasi bagi pembaca.





Cerita ini berawal ketika Manu hendak pulang mudik ke daerah asalnya di kota ujung provinsi Jateng. Seperti biasa setiap hendak pulang ia selalu berpamit kepada orang tua, terutama ibuknya di rumah.
"Ibuk, saya nanti pulang..." Kata Manu melalui pesan singkat yang dikirim pagi hari.
Manu menunggu, dan terus menunggu sembari sesekali melihat ponsel yang selalu ia genggam. Manu mulai menunjukkan kegelisahannya. Mengapa ibuknya tidak membalas sms yang ia kirim. "Apa ibuk masih marah ?" Pikirnya dalam hati. Namun ia tidak mau berfikir macam - macam. "Mungkin ibuk sedang sibuk, atau lupa membawa ponsel." Ucapnya sambil menggumam.

Manu pun berusaha menjalani aktivitas hariannya seperti biasa. Ia tak mau berfikir yang negatif tentang ibuknya. Memang beberapa hari yang lalu Manu dan ibuknya sempat bertengkar hanya karena berselisih paham.

Hari sudah menjelang sore hari, pukul setengah tiga sore. Ia bersiap hendak berangkat pulang. Sepeda motor ia panasi mesinnya terlebih dahulu. Lalu tak lupa saat itu juga ia mengirim sms ke ibuknya lagi.
"Ibuk, saya pulang." Begitu singkat bermaksud memberi kabar. Selang beberapa saat tak juga ia dapati balasan sms dari ibuknya. Ia pun bergegas menaiki motornya, menarik tuas kopling lalu menginjak perseneling dan diurutlah tuas gas perlahan sambil melepas tuas kopling. Sembari berdo'a, ia perlahan melajukan motornya.

Sepanjang jalan Manu masih saja kepikiran. Apa gerangan yang membuat ibuk yang ia sayang tak jua mau membalas smsnya. Sesekali ia mencek ponselnya sembari mengendalikan laju motor yang lumayan berat bagi tubuh kurusnya. Suasana hati gundah tak karuan. Pikirannya kabur kemana - mana. Meski mata fokus tertuju ke jalan raya, namun tatapannya kosong. Bahkan sering jalan berlubang pun tak ia hiraukan untuk diterjang.

Perjalanan memakan waktu tiga jam. Sampailah ia di rumah, bergegas memasukkan motor ke dalam garasi. Tanpa pikir panjang, seolah ia lupa kejadian sebelumnya, ia bergegas masuk ke dalam rumah.
"Assalamu'alaikum..." Salamnya sambil berjalan ke dalam.
"Wa'alaikumsalaam..."
"Maaasss.... !!!" Seperti biasa sambutan gembira dari sang adek. Mendengar teriakan adeknya itu, letih yang ia rasakan pun seolah perlahan memudar dan hilang. Meneruskan langkahnya menuju dalam rumah, di ruang tengah, sedang bersantai menonton siaran TV, bapak. Manu salim dengan bapak, dan mencium tangan yang hampir dua kali lipat lebih besar dari tangannya.

"Ibuk mana Pak...?" Tanya Manu.
"Di belakang." Jawab Bapak manu dengan singkat.

Manu lekas menuju kamar untuk menaruh tas. Lalu menuju belakang untuk menemui Ibuknya.
"Ibuk..."
Ia pun segera mengajak ibuk bersalaman.
...
...
Heran bukan kepayang, ajakan untuk jabat tangan sebagaimana yang diperintahkan Nabi Muhammad pun diabaikan ibuknya. Bingung, kecewa, merasa bersalah bercampur menjadi satu. "Apa gerangan salahku ?" Pikir Manu dalam hati. Sambutan hangat dari sang adik, ternyata tidak ia dapati dari ibuknya. Niat untuk pulang yang dengan harapan jika ada masalah akan segera jelas dan selesai, ternyata tak lagi ada. Ia pun beranjak dari tempat ibuknya dengan muka suram bercampur kekecewaan. Sedih, sorot matanya mulai layu.

Seharian ia di rumah, tanpa sepatah kata pun ia lontarkan untuk mengajak ibuknya mengobrol seperti biasa. Perasaan takut, tidak nyaman berada di tempat dimana ia merasa tidak dianggap ada dan tidak pernah diharap. Wajar saja ia merasa demikian. Ia bukanlah anak kandung di keluarga itu. Anak angkat, sepertinya juga bukan. Terkadang ia sendiri pun bingung memposisikan dirinya sebagai apa di rumah itu. Ia takut lupa akan siapa dirinya sebenarnya. Ia takut hanya menjadi beban dalam keluarga itu. Sering ia berfikir bagaimana agar ia menjadi berguna dan membawa tawa di sana. Bagaimanapun juga, ia menganggap mereka seperti keluarganya sendiri.

Selang beberapa hari setelah kejadian itu. Setelah ia kembali ke kota perantauannya, Manu semakin merasa tidak karuan. Bahkan untuk sekedar berfikir realistis pun terasa susah baginya.
"Triith..." Tiba - tiba ponsel Manu berbunyi. Ia pun segera membuka pesan singkat yang barusan ia terima.
"Mas, ibuk bilang selama ramadhan mas gak boleh pulang ke rumah..."
Sontak ekpresi wajah Manu pun drastis berubah. Tatap kosongnya berubah menjadi layu. Lemas dan tak tahu harus bagaimana membalas pesan singkat itu. Ia pun membiarkannya tanpa membalas pesan singkat yang berasal dari nomor adeknya tersebut.

"Ibuk hanya ingin mas tau diri..."
...
...
Membaca sms kedua, ekspresinya tetap tak berubah. Bahkan semakin pucat mukanya. Bagaimana mungkin kalimat itu bisa terlontar dari orang yang sudag seperti ibuk baginya. Ia kecewa, geram, sedih dan tak tahu apa yang harus ia lakukan. Namun, kali ini ia mencoba menguatkan dirinya untuk membalas sms itu.
"Maaf kalau sdh sering merepotkan..." Dengan nada merasa bersalah ia menulis pesan itu.
....

Seminggu berselang, seperti biasa setiap hari sabtu waktunya Manu untuk pulang. Kali ini ia tidak mengirim pesan kepada ibuknya seperti biasa sebelum pulang. Dan saat itu adalah hari pertama ia akan buka puasa di rumah. Harapan untuk bisa buka puasa bersama adeknya, Ibuknya dan bapak tak lagi ada terpancar di matanya. Ia pun terlihat pasrah dan rela jika kenyataan mengharuskan ia untuk pergi dari keluarga itu. Bahkan jika pun tak ada kejelasan apa salah yang ia lakukan.

Keesokan harinya, bangun dari tidur yang tak senyaman biasanya karena banyak yang ia pikirkan sebelum tidur, Manu menyalakan ponselnya. Didapati ada pemberitahuan satu pesan belum dibaca.
"Hanya minta do'anya semoga bapak cpt sembuh, mksh..."
Pesan dikirim oleh ibuknya. Ia segera mencek waktu pengiriman... 10.15 P.M.

Ia merasa panik, dan bingung. Segera ia membalas pesan singkat dari ibuknya.
"Bapak sakit apa ibuk ?"
"Tidak usah khawatir, tidak parah kok. Ini masih di RSU ruang melati no.8..."

Manu merasa bingung. Apakah ia harus pergi menjenguk bapaknya ataukah tidak. Ia merasa sedih, dan juga tidak enak dengan keberadaan dirinya sendiri. Setelah kemarin sempat bertengkar dengan ibuknya, dan ujung - ujungnya selalu tidak enak baginya. Terlebih Manu merasa dia sudah diperingatkan agar tahu dirinya siapa oleh ibuknya. Ia jadi merasa bukan siapa - siapa dan tak dibutuhkan lagi di sana.

Ternyata kegundahan hatinya itu tak berpengaruh terhadap tubuhnya. Meski hatinya sedang gundah dan berfikir untuk tidak perlu pergi, namun tubuhnya spontan berjalan dan seolah mengajaknya untuk pergi setidaknya melihat kondisi bapak di rumah sakit. Ia pun berangkat.

Sesampai di RS, ia segera menuju ruang dimana bapaknya dirawat.
"Assalamu'alaikuum..." Salamnya sambil membuka pintu perlahan.
"Ibuk..." sapanya sambil mencium tangan lembut ibuknya.
"Bapak..." Begitu pun bapak.

Tak banyak kata yang terlontar dari mereka. Bahkan untuk membentuk suatu obrolan hangat. Bolak - balik Manu keluar masuk ruangan, mondar - mandir di area RS untuk menutupi kegelisahannya. Karena sebentar lagi bapakny akan segera pulang, ia pun bergegas pamit pulang. Dengan rasa sungkan juga gelisah yang masih ia simpan, ia berpamit pulang kepada kedua orang tuanya. Kebetulan ia juga merasa ingin muntah karena tidak tahan bau obat - obatan di rumah sakit.

Awalnya Manu ingin pulang ke rumahnya sendiri, namun entah kenapa laju motornya membimbing Manu menuju rumah pamannya, dimana adeknya sedang berada. Sampai di sana ternyata sang adek sudah diantar pulang. Ia pun menyusul. Niat pulang ke rumahnya sendiri pun tak lagi ia hiraukan, ia hanya menuruti kemana kata hatinya menuntun.

Ia pun telah sampai di rumah keduanya. Ia bersyukur akhirnya bapaknya sudah bisa kembali pulang. Meski belum sembuh betul karena masih harus dirujuk ke RS daerah lain, setidaknya kondisi bapaknya sudah membaik.

Harapan untuk menghabiskan waktu bersama yang sempat sirna pun tak disangka ia dapati...
"Subkhanallah... Alhamdulillah..." Ia bersyukur dalam hati.

TO BE CONTINUED....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar Anda yang membangun